Kamis, 16 Oktober 2014

Lalu Aku Bisa Apa?

Larik I ~

Seringkali wanita itu menatap cermin, lalu ia lepaskan senyum sekenanya pada sesosok bayangan yang ada. Matanya sembab, tentu banyak sebab yang menjadikannya begitu bengkak. Dia pucat, bukan karna tidak ada sesuap nasipun yang melintas melewati tenggorokan. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuk cerita lain yang mesti dia perankan. "patahati lagi?" tanya bayangan cermin seperti mengintrogasi. Wanita itu tertawa, kali ini seperti ada mercon kecil diperutnya.



Untuk apa bersedih? toh ini bukan episode pertama kisah patahati, dia usap semua gerimis yang turun dipipinya. Ihihihi, tawanya. Geli sekali seperti anak kecil yang baru turun dari wahana bianglala. Aku kan sudah terbiasa seperti ini. Bukan cuma dua.. tiga.. empat atau mmm, usahanya menghitung dengan jemarinya. Mana ada wanita yang mau menanti seorang pria tapa batasan waktu yang pasti? semenit dia bilang cinta dimenit ke lima belas dia buat aku remuk hatinya. Cepat sekali manufernya. 

Aku ini wanita, sekalipun menunggu tidak perlu kan selamanya. Sekalipun didunia cerita, cinderrella tetap saja mendobrak pintu untuk bertemu pangerannya. Ya berusaha. Keduanya sama berusahanya, sang pangeran mencari, sang permaisuri melawan kekejaman yang terjadi. Begitu sederhananya cinta, kamu usaha aku juga. Bukan satu sisi yang sibuk sendiri dan isi lainnya menjadi orang yang tidak merasa satu hal telah terjadi. 

Kalau kamu pernah bilang cinta, ya aku pernah merasa terbang ke nirwana. Kalau kamu bilang sudah tidak bisa merasakan apa-apa, lalu aku bisa apa? Toh itu perasaan, kamu yang rasa bukan aku yang paksa..

--------------------

Larik II ~

Hello...!!!
Kamu, ya tentu kamu. Pria berbaju biru yang saat ini duduk dihadapanku. Mmm, maksudku agak jauh dihadapanku. Sudah belasan menit ku karang kata-kataku untuk sekedar 'say hello' untukmu, menepuk pundakmu seperti yang lain lakukan, dan duduk disampingmu dengan senang. Bukan lagi dalam jarak lima susun bangku dibelakang lalu menatapmu dengan sorotan amat penasaran. Berat rasanya untuk terus menghapal bagaimana caramu meneguk secangkir kopi dalam rasa beraneka ragam yang tiap hari kau pesan. Kalau aku selalu sengaja untuk mengucapkan menu pesanan yang sama denganmu, bisa-bisa dalam tiga bulan kedepan aku tak punya ide sendiri lagi untuk memesan minuman sebelum kamu duluan yang memesan.

Ya aku tau. Kamu tenar, kamu pintar, kamu punya kharisma yang wanita lain juga pasti idolakan. Lebih-lebih Tuhan memberimu bonus combo dengan ketampanan. Sementara aku? Siapa aku, melihat ke arah akupun kamu jarang. Atau, sialnya kamu tidak tau siapa namaku. Ya sepertinya. Pertemuan tak sengaja di dua semester lalu sepertinya meninggalkan jejak yang amat curang, tentu untukku. Aku jadi mengidolakanmu tanpa sebab, lebih-lebih mengidolakan pemain sinetron yang sering lalu-lalang muncul dipemberitaan. 

Lalu aku, setiap harinya selalu mencari cara untuk diam-diam mengamatimu dari jauh. Seperti ada sebuah keharusan untuk mengetahui warna kemeja yang sedang kamu kenakan. Lucu ya aku. Tapi aku tau ada sebuah batasan tentang aku-kamu. Eh salah, maksudku aku-popularitas-kamu. Lalu dalam tegukan ke lima pada kopi aroma vanilla yang lagi-lagi rasanya sama dengan milikmu aku berkata "Tidak semua yang kamu inginkan bisa kamu perjuangkan. Ada hal-hal yang memang harus dilepaskan. Tidak perlu diharapkan, karna tidak akan jadi kenyataan" 

Kalau aku sudah tau warna kemejanya hari ini, lalu apa aku puas hanya dengan mengetahui warna kemejanya dalam kurun waktu dua, tiga, empat dan belasan tahun selanjutnya nanti. Cinta bukan soal seberapa besar penasaran yang kamu rasakan saat ini, tapi bagaiman kamu bisa mengulangi rasa yang sama seperti saat pertama menemuinya. Kalau rasa itu hanya aku sendiri yang rasa, lupakan. Sakitnya nanti mungkin terlalu mahal untuk ku bayar. Melupakanmu atau hidup dalam cerita yang dipaksakan. Lalu aku bisa apa?

--------------------

Larik bungsu ~

Puisi : Apa kabar air mata?

Diamlah, tapi tetap jaga agar aku tak duka
Berkatalah, dan maaf jika mungkin aku agak gila
Memeluklah, lalu ucapkan tidak akan terjadi apa-apa
Mengusaplah, dan cegah aku terlalu mudah menyerah

Dalam bulir-bulir air mata
Yang mungkin terlalu pekat karna stok terakhir dari pabriknya
Aku berkata,
Bisakah ku ajak bertanya aduhai air mata
Mengapa tak lelah untuk deras sementara kemarau masih menerjang?

Sebiduk perasaan yang sudah lama ku letakan di sisi bak sampah
Tak akan ku pungut walau itu keping terakhir yang membuat sang puzzle sempurna
Cerita tentang gadis yang bertengkar dengan prianya dimalam buta
Atau alkisah tentang pria yang kehilangan cintanya karna sebab harta

Ah, lusuh 
Semua cerita hanya cinta hanya mengarakmu kesebuah luka
Luka yang tak jelas apa judulnya
Luka yang membiarkanmu beku, membiru dan akhirnya saling menjauh
Jauh dalam keangkuhan yang terlaminating kedap udara

Apakabar air mata? 
Lalu aku bisa apa?




Jakarta, 16 Oktober 2014
dalam hati yang berkeping-keping
IRa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar